Penyebaran Penyakit oleh Tumbuhan pada Manusia, Penyebaran Penyakit tanpa Batasan

0
Kanker pada pohon walnut. (Credit: Colorado State University photo/Ned Tisserat dalam Fox, 2015).
Fox dalam tulisannya di The News Magazine of the American Society for Microbiology menyatakan bahwa sejumlah tanaman komsersial yang penting merupakan pelaku penyebaran penyakit bagi manusia, yang telah terjadi di anggrek dan kebun anggur di Eripa dan Amerika Serikat (AS), berdasar laporan Rodrigo Almeidao dari Universitas California, Berkeley. Dia sedang melakukan serangkaian workshop akhir September dalam workshop, “Vector-Borne Diseases: Exploring the Environmental, Ecological, and Health Connections,” diadakan oleh Forum on Microbial Threats, di bawah pelaksana Institute of Medicine (IOM) di Washington,D.C.
Laporan Plantegenes dkk., 2007 menyatakan bahwa landskap berpengaruh terhadap penyebaran penyakit pada manusia. Sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa landskap berperan penting dalam penyebaran penyakit pada manusia adalah studi pada penyakit lyme (Brownstein dkk., 2005), kista hidatid (Graham dkk., 2004), dan malaria (Sallares, 2006). Adanya berbagai macam tanaman yang kemungkingan menjadi inang juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi penyakit. Hal ini dapat dilihat di hutan (Bell dkk., 2006) atau di padang rumput (Mitchell dkk., 2002). Lebih dari itu, studi terakhir Webb dkk., 2006) menduga bahwa terjadinya penyakit dapat juga bergantung pada kemelimpahan filogenetik yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan spesies untuk berbagi penyakit. Filogenetik seperti itu seperti terjadi di areal pertanian yang tanaman-tanamannya berkekerabat dekat, baik dibudidayakan atau pun tidak.
Menurut Almeida, dalam tulisannya menyatakan bahwa peningkatan sejumlah penyakit berbahaya dan epidemi akhir-akhir ini telah memicu ketertarikan bagaimana penyakit baru muncul dan penyakit yang sebelumnya jarang menjadi meningkat sering berjalannya waktu. Ia menyatakan bahwa ada keterkaitan yang erat antara penyakit tanaman dengan penyakit manusia.
Komersial, seringnya dan kecepatan trasnportasi, penyebaran spesies, resisten terhadap pestisida, urbanisasi, perubaha iklim, dan banyak faktor-faktor yang lain telah berkaitan erat dengan penyakit manusia (Woolhouse and Gowtage-Sequeria, 2005 dalam Almeida). Pautasso dkk., 2012 mengaitkan secara sistematik yang mengarahkan ke faktor yang memperngaruhi penyakit tanaman. Meskipun pengenalan spesies baru (56 %) dan cuaca (25 %) ditunjuk sebagai penanggung jawab utama untuk kebanyakan penyakit tanaman, faktor lain juga ditemukan lebih penting. Menariknya, telah diobserbasi virus yang terdiri atas 47 % dari semua tanaman yang menunjukkan gejala penyakit. Tren yang sama juga ditemukan pada penyakit manusia (Woolhouse and Gowtage-Sequeria, 2005, dalam Almeida). 

 Pustaka:
  1. Almeida, Rodrigo. ECOLOGY OF EMERGING VECTOR-BORNE PLANT DISEASES. Vector-Borne Diseases: Understanding the Environmental, Human Health, and Ecological Connections, Workshop.
  2. Bell, Thomas, Robert P. Freckleton, dan Owen T. Lewis. 2006. Plant pathogens drive density-dependent seedling mortality in a tropical tree.  Ecology Letters. Volume 9, Issue 5, pages 569–574
  3. Brownstein, John S., David K. Skelly, Theodore R. Holford, dan Durland Fish. Forest fragmentation predicts local scale heterogeneity of Lyme disease risk. Volume 146, Issue 3, pp 469-475.
  4. Fox, Jeffrey L. 2015. Microbe : Vector-Borne Plant Pathogens Cost Plenty, Know No Boundaries. The News Magazine of the American Society for Microbiology. Vol 10, No. 2
  5. Graham, A.J., F.M. Danson, P. Giraudoux, P.S. Craig. 2004. Ecological epidemiology: landscape metrics and human alveolar echinococossis. Epidemiology: a spatial perspective. Volume 91, Issue 3, Pages 267–278 
  6. Mitchell, CE., Tilman, D., Groth, JV. 2002. Effects of grassland plant species diversity, abundance, and composition on foliar fungal disease. ECOLOGY Volume: 83 Issue: 6 Pages: 1713-1726
  7. Pautasso, Marco, Thomas F. Döring, Matteo Garbelotto, Lorenzo Pellis, dan Mike J. Jeger. 2012. Impacts of climate change on plant diseases opinions and trends. Eur J Plant Pathol
  8. , dan Landscape epidemiology of plant diseases Sallares, R. 2006. Role of environmental changes in the spread of malaria in Europe during the Holocene. Quaternary International Volume 150, Issue 1, Pages 21–27.
  9. Webb, Campbell O., Gregory S. Gilbert, dan Michael J. Donoghue. 2006. PHYLODIVERSITY-DEPENDENT SEEDLING MORTALITY, SIZE STRUCTURE, AND DISEASE IN A BORNEAN RAIN FOREST. Ecology 87:S123–S131.
  10. Woolhouse ME dan Gowtage-Sequeria S. 2005.Host range and emerging and reemerging pathogens. Emerg Infect Dis. 2005 Dec;11(12):1842-7. dalam Almeida, Rodrigo. ECOLOGY OF EMERGING VECTOR-BORNE PLANT DISEASES. Vector-Borne Diseases: Understanding the Environmental, Human Health, and Ecological Connections, Workshop.

Pilihan Pengawetan Makanan dengan Teknologi Hurdle

0


Credit: Thomas


Pengawetan makanan dengan teknologi hurdle merupakan metode pengawetan makanan pada pengawetan makanan yang memadukan berbagai cara seperti mengatur suhu (rendah atau tinggi), aktovitas air (aw), keasamaan (pH), potensial redoks (Eh), bahan pengawet makanan (nitrit, sorbat, sulfat), dan mikroorganisme saingan (seperti bakteri asam laktat). Teknologi hurdle ini dapat meningkatkan keamanan pangan hal ini karena teknologi ini menggunakan antimikroba yang secara bersamaan dapat melindungi aroma dan rasa makanan.

Meskipun demikian, teknologi hurdle ini memiliki efek negatif atau pun positif. Penyimpanan beberapa produk tanaman seperti buah dan sayur dapat mengalami kerusakan (chilling injury) pada saat disimpan pada suhu yang terlalu dingin, dimana suhu yang lebih ringan sedikit justru berfungsi untuk melindungi makanan tersebut. pH acar seharusnya juga cukup asam untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme patogen, namun sebaiknnya tidak  terlalu asam agar rasanya tidak aneh.
Prinsip Dasar Teknologi Hurdle.
  1. Homesotatis. Homestatis merupakan metode mejaga kestabilan dan keseimbangan mikroorganisme dan komponen mikroorganisme yang ada pada makanan. Sebelum bakteri tersebut mengalamai log fase dan pertumbuhan yang berlebihan, maka diperlukan pengawet makanan. 
  2.  Metabolisme berlebihan. Metabolisme mikroorganisme yang berlebihan dalam memetabolisme suatu produk akan autostrelisasi pada makanan tersebut. Metode ini telah digunakan dengan memanaskan sosis pada suhu sedang yaitu 95 C diatur kadar airnya dengan menambahkan garam dan lemak, produk kemudian ditambahkan Clostridium sporogemes, dan di simpan pada suhu 37 C. Spora clostridium yang masih hidup akibat pemasan musnah sendiri selama pemanasan.
  3. Targetnya berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang mengkontaminasi makanan terdiri atas berbagai jenis, seperti khamis, bakteri, virus, jamur,yang dapat diserang melaluli dinding selnnya, DNA, membran sel, sistem enzim dan bagian bakteri yang lain. Oleh karena itu diperlukan berbagai macam metode penyawetan untuk mengatasi berbagai macam masalah tersebut.
  4. Pemaparan berbagai macam pemicu stress. Beberpa bakteri menjadi lebih tahan pada saat ada stress dari lingkungan hal inikarena bakteri mampu menyintesis protein untuk mengatasi stress tersebut. Protein tersebut antara lain dapat mengatasi cekaman suhu, pH, aw, etanol, dan senyawa oksidator. Dengan pemparan berbagai macam penginduksi stress dengan cara mengkombinasikan berbagai macam metode pengawetan diharapkan dapat mengatasi adanya protein ketahanan stress yang diproduksi bakteri.
Pustaka
  1. Food Safety and Inspection Service. 2012. Introduction to the Microbiology of Food Processing. United States Department of Agriculture
  2. Leistne, Lothar. 2000. International Journal of Food Microbiology 55: 181–186Review Basic aspects of food preservation by hurdle technology
  3. Thomas, Deborah (Editor in chief). The Teenage Anti-Acne Diet. The Australian Women's Weekly.

Halo Mirooganisme Laut!: Meningkatkan Kemampuan Mikroalgae untuk Menangkap CO2 di Lingkungan dan Mengurangi efek rumah kaca

0
(a) Kolam terbuka. Credit:mission2018.com, (b) fotobioreaktor. Credit:oilgae.com
Protokol Kyoto menyatakan bahwa kegiatan manusia menyebabkan peningkatan pemanasan global dan efek rumah kaca, yang terutama disebabkan oleh karbon dioksida (CO2). Dengan estimasi terjadi pemanasan bumi dalam waktu 10 tahun mendatang karena peningkatan suhu.
Dipelukan teknologi untuk mengangkap CO2 di lingkungan. Teknologi yang ada saat ini antara lain dilakukan dengan mengkombinasikan fiksasi CO2 secara biologis, baik dengan baik secara fotosintetik dan kemosintetik, terutama oleh tanaman dan bakteri. Kelebihan dari metode biologi ini adalah selain dapat menangkan CO2 di lingkungan juga dapat menghasilkan bahan bakar alami dan produk industri lain.
Mikroorganisme laut mampu hidup di lingkungan magma yang panas di bawah dasar laut, memiliki karakteristik tahan terjadap kondisi kimia yang suhu, tekanan, pH, dan racun logam berat yang ekstrim. Mikroorganisme ini merupakan sumber teknologi yang penting untuk penerapan bioteknologi yang baru. Fiksasi CO2 yang dilakukan oleh mikroorganisme juga mampu menyediakan enzim yang beraneka ragam, gen, dan proses metabolisme yang penting untuk pengembangan bioteknologi dalam pengurangan CO2 di atmosfer, produksi biofuel, dan sintesis kimia. Oleh karena itu selain menggunakan mikroorganisme untuk menangkap CO2 di atmosfer, juga dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak enzim yang diekstrak dari mikroorganisme tersebut (contoh enzim anhidrase karbonik, AK). Sejumlah reaktor dikembangkan dengan menggunakan enzim AK untuk mengekstrak CO2 dari campuran gas dan menggunakan CO2 tersebut untuk menghasilkan biogas.
AK merupakan enzim yang dapat mengakatalisis perubahan CO2 menjadi bikarbonat, perubahan CO2 selektif menjadi fase cair, dan dapat memisahkan CO2 dari gas lain. Oleh karena itu, sebagai katalis yang potensial, AK dapat digunakan untuk menangkap CO2 dari sumber polusi udara. Reaktor skala laboratorium telah dikembangkan untuk mengevaluasi penangkapan karbon dioksida dari gas menjadi cair. Efisiensi penangkapan dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan dasar (seperti sodium hidroksida) untuk membentuk bikarbonat atau karbonat, yang selanjutnya dapat diubah menjadi CaCO3 yang tidak larut dengan menambahkan kation presipitasi, seperti Ca2+. CaCO3 merupakan mineral yang stabil yang ditemukan di beberpa bagian di permukaan bumi ini, dan merupakan komponen utama kerang laut, siput, mutiata, dan cangkang telur.
Salah satu mikroorganisme yang dapat melakukan fungsi tersebut adalah mikrooalga, antara lain Cyanophyceae (blue-green algae), Chlorophyceae (green algae), Bacillariophyceae (termasuk diatoms) dan Chrysophyceae (termasuk golden algae) diketahui sebagai organisme yang sangat efisien menggunakan CO2 di atmosefer melalui fotosintesis. Melalui rekayasa genetika dan teknologi, menghasilkan mikroalgae strain baru yang dapat mentolerasi konsentrai CO2 yang tinggi. Sebagai tambahan, telah dikembangkan mikroalgae yang dapat mengatasi masalah pembuangan limbah cair dan membentuk bahan bakar.
Selain metode-metode tersebut, metode di bawah ini adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan penangkapan CO2 di lingkungan:
Peningkatan Penangkapan CO2
  1. Sistem kolam terbuka dan fotobioreaktor. Salah satu metode yang digunakan untuk menangkap cahaya matahari dan CO2 secara efisien adalah menggunakan sistem: kolam terbuka atau pun fotobioreaktor. Fotobioreaktor dilakukan dengan cara menggunakan pipa transparan, menggunakan cahaya alami matahari, dan pemberian makanan dengan dengan metode grafiti. Pencampuran dengan gelembung CO2 merupakan metode lain yang digunakan untuk memaksimalkan penangkapan CO2 dan mengurangi biaya. Metode ini telah dicontohkan oleh perusahaan Algatech di Israel dan oleh Subitec di Jerman (lihat gambar di atas) (Lyons dkk., 2009) 
  2. Rekaya Genetika. Rekaya genetika dilakukan untuk mengatasi masalah seperti: kurangnnya intensitas cahaya matahari, akumulasi oksigen terlarut, dan ketersediaan CO2 merupakan faktor yang menghambat penyerapan CO2 di lingkungan secara optimal. Rekayasa genetika ini antara lain dapat dilakukan dengan menambah enzim pengikat CO2 di lingkungan, meningkatkan jumlah klorofil, atau pun meningkatkan properti klorofil untuk memudahkan menagkap cahaya, meningkatkan ruang di dalam mikroalgae sehingga merendahkan oksigen terlarut sehingga oksigen tersebut tidak bersifat toksik bagi algae. Akhir-akhir ini sianobacterium, Synechococcus elongatus PCC7942 telah direkayasa secara genetik untuk memproduksi isobutiraldehida dan isobutanol secara lansung dari CO2, meningkatkan produksinya dengan melebihkan ekspresi enzim karboksilase/oksigenase ribulose 1,5-bisphosphate (RuBisCO). Isobutiraldehida merupakan prekursor untuk sintesis senyawa kimia lain, dan isobutanol dapat digunakan sebagai bahan bakar. 
  3. Penambahan Gelembung. Penambahan gelembung ke medium pertumbuhan mikroalga baik di kolam terbuka maupun di fotobioreaktor, dapat mengurangi kelarutan oksigen yang bersifat toksik, memperlancar aliran CO2, dan meningkatkan penyebaran cahaya matahari. Pada penumbuhan mikrooalga selain ditambahkan gelembung secara sengaja, bakteri yang tumbuh di perairan tersebut juga dapat menghasilkan gelembung yang bermanfaat. 
  4. Metode Radiative Transport Equation (RTE). Pioner yang bekerja di bidang pembiakan mikrooalga menstimulasi penyebaran cahaya dengan menggunakan konsep radiative transport equation (RTE). Metode ini terutama digunakan pada mikroolga bersel tunggal. menggunakan bakteri untuk menyerap cahaya dan memecahkan dan menyebarkan cahaya dengan menggunakan kristal belerang yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut.

Pustaka
  1. Minic, Zoran dan Premila D. Thongbam. 2011. The Biological Deep Sea Hydrothermal Vent as a Model to Study Carbon Dioxide Capturing Enzyme. Review. Mar. Drugs, 9, 719-738; 
  2. Lyons, Henry, Yannick Lerat, Michele Stanley, Tom Bruton, dan Michael Bo Rasmussen. 2009. A Review of the Potential of Marine Algae as a Source of Biofuel in Ireland
  3. Sayre, Richard. 2010. Microalgae: The Potential for Carbon Capture. BioScience 60 (9): 722-727
  4. Smith, C. 2012. Chemosynthesis in the deep-sea: life without the sun. Biogeosciences Discuss., 9, 17037–1705
  5. http://www.mission2018.com/future/biomass/algae-biofuel
  6. http://www.oilgae.com/blog/2015/05/temperature-based-mass-flow-rate-sensor-for-algae-photobioreactors.html

Fakta Negatif (Atau Positif) Vaksin?

0
Credit: Goodchild, 2013
Pneumonia dan diare merupakan dua pembunuh utama anak-anak menurut United Nations International Cultural and Educational Foundation (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) yang disebabkan oleh virus. Badan ini melaporkan bahwa dua penyakit tersebut membunuh lebih dari dua juta anak-anak setiap tahun. Dan keduanya membuat 29% penyebab kematian anak di bawah usia lima tahun (1). Rendahnya sanitasi, kekurangan air bersih, dan kurangnya akses ke tempat-tempat kesehatan dan akses untuk mendapatkan vaksin merupakan salah satu penyebab kematian akibat diaere terutama karena virus rotavirus. Virus varicella, varicella-zoster virus (VZV) merupakan salah satu virus yang menular melalui udara atau pun kontak langsung dengan kulit penderita yang terinfeksi, merupakan salah satu dari delapan
virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini memeliki DNA untai ganda dan berkerabat dekat dengan herpes simplex virus tipe 1 dan 2. Virus ini dapat berkembang biak dengan cepat, menyebar dan menghancurkan sel yang diinfeksi. Seperti herpes virus yang lain, VZV memiliki kemampuan yang tidak biasa untuk membangun infeksi laten pada ganglion saraf dan diaktifkan kembali olehnya.  Infeksi utama VZV menyebabkan varicella atau ‘chickenpox’, dimana reaktifasi laten dari VZV ini menyebabkan herpes zoster (HZ) yang juga dikenal sebagai zoster atau ‘shingles’. Infeksi ini umumnya menyebabkan malaise, demam, dan  vesikular yang kemerahan. Infeksi komplikasi chickenpox kejadiannya kurang dari 1%, namun dapat menyebabkan lesi kulit kedua, radang paru-paru, radang serabut otak dan ataksi serebelar, trombositopenia, dan hepatitis (NCIRS Fact sheet. 2015).
West Nile virus (WNV) dan the four dengue viruses (DENV1-4) merupakan flaviviruses termasuk famili Flaviviridae. Yang menyebabkan kasus yang sedang hingga kematian, dan gejala lain seperti demam tinggi, sakit kepala, nyeri di belakang kepala, dan kulit kemerahan [2].
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang terutama berefek pada hati. Infeksi pada bayi atau balita tidak mempunyai gejala, tetapi dalam infeksi yang lebih tinggi, terutama dengan orang tua yang terinfeksi. Gejala dan tanda-tanda orang yang terinfksi HBV sama dengan gejala infeksi virus lain seperti demam, badan terasa tidak sehat, sakit kepala, anoreksia, mual, dan kram, sakit abdominal, dan nyeri otot. Tingkat kekronisan yang pada seseorang akan menyebabkan sirosis hati dan/atau karsinoma hepatoseluler, yang dapat dipertimbangkan kehidupan dan kematiannya (Factsheet. 2015).
Vaksin hampir dapat menghilangkan atau mengurangi secara signifikan insiden berbagai macam infeksi virus seperti yang disebut di atas. Selain itu, vaksin juga dapat digunakan untuk mengatasi serangan virus lain seperti 1) dipteri, 2) invasive Haemophilus influenzae tipe b (Hib), 3) measles, 4) polio, 5) rubella, 6) tetanus, 7) mumps, 8) varicella, 9) pertussis, 10) influenza, 11) flu burung, 12) meningitis, dsb.
Penggunaan vaksin sangat dianjurkan untuk semua remaja (≥14 tahun) yang yang belum diimunisasi, orang dewasa, dan terutama direkomendasikan untuk orang yang kemungkinan terpapar tinggi oleh virus, atau kemungkinan komplikasi virus dengan penyakit lain, seperti pegawai kesehatan, pekerja sosial anak-anak, dan wanita yang belum diimunisasi sebelum hamil.

Vaksin telah dikembangkan penggunaannya dan dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan penggunaan vaksin (Kimmel dkk., 2007). Sistem pengingatan/sistem recall untuk pasien, keluarga, dan penyedia, systems for patients, families, and providers; pengenalan vaksin di sekolah dan perlindungan anak; penurunan harga vaksin untuk pasien/masyarakat; asesmen dan pengumpulan umpan balik dari penyedia; merupakan cara-cara lain untuk meningkatkan penggunaan vaksin.
Pemberian edukasi dan peningkatan jasa layanan vaksin merupakan salah satu cara untuk meningkatkan penggunaan vaksin menurut Kimmel dkk., 2007
Hambatan penggunaan vaksin dapat terjadi karena ada beberapa informasi dan fakta sebagai berikut:
  1. Virus, Bakteri, Sel, dan bagian-bagian lain yang dilemahkan atau dinonaktifkan merupakan komponen vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh. Komponen ini dicurigai dapat mengalami perubahan genetika dan menginfeksi tubuh, namun demikian kemungkinan ini sangat kecil. Fungsi utama virus, bakteri, atau sel dimasukkan ke dalam tubuh adalah untuk menginisiasi pembentukkan antibodi tubuh, sehingga ketika tubuh terinveksi virus yang sesungguhnya tubuh sudah memiliki mekanisme perlindungan diri (WHO, 2014)b.
  2. Line sel WI-38 dan MRC-5. Merupakan line sel dipoid manusia yang digunakan untuk menumbuhkan virus. Sel line ini digunakan karena virus tidak dapat tumbuh sendiri, dan oleh karena itu digunakan untuk menumbuhkan virus. Namun pada saat virus dipanen, komponen sel line itu dipisahkan dari virus, atau pun sel line itu tidak digunakan sebagai formulasi. Sel line sel ini didapatkan dari embrio manusia. Antara lain didapatkan dari janin yang diaborsi di rumah sakit atas kerelaan orang tuanya. Sel line ini masih digunakan hingga saat ini namun secara perlahan mulai digantikan oleh kultur dari monyet, bebek, kelinci, ayam, anjing, dan jaringan tikus.
  3. Vaksin virus Rubella strain RA 27/3. Virus rubella strain RA 27/3 merupakan virus yang dapat menginfeksi wanita dan dapat diturunkan ke anak yang sedang dikandungnya. Serangan virus ini dikhawatirkan dapat menyebabkan cacat bayi. Vaksin virus rubella strain RA 27/A didapatkan dari ginjal janin yang digugurkan karena terinfeksi virus rubella dari ibunya yang terinfeksi virus rubella. Vaksin ini akhirnya digunakan oleh seluruh ibu hamil untuk melindungi calon bayinya dari serangan virus rubella (Plotkin SA. 1973).  
  4. Eksipien Porksin. Eksipien merupakan bahan inaktif yang terdapat pada vaksin. Eksipien ini digunakan untuk membantu menjaga kestabilan dan melindungi bahan aktif selama pembentukkan kering-beku dan penyimpanan, dan juga digunakan untuk pelarut. Beberapa produk ini terdiri atas hidrolisat gelatin atau tripsin, yang mungkin juga mengandung porksin (dari babi). Hidrolisat gelatin merupakan campuran peptida dan protein yang diproduksi dengan cara menghidrolisis kolagen, yang diperoleh dari kulit, tulang, dan komponen lain, yang kebanyakan dari babi atau binatang ternak lain. Hidrolisis di sini berarti proses pemecahan molekul kolagen menjadi rantai asam amino (polipeptida) dengan menggunakan asam atau basa, dilanjutkan dengan pemurnian.
  5. Enzim tripsin. Enzim tripsin dapat digunakan untuk memproduksi beberapa vaksin viral, untuk mengendapkan dinding sel-sel kultur pada saat pemanenan. Seperti gelatin, tripsin kebanyakan merupakan produk turunan dari porksin atau pun bovin.
  6. Eksipien bovin. Serum bovin atau albumin digunakan pada saat penumbuhan virus. Penambahan ini digunakan sebagai sumber nutrisi (dalam bentuk albumin, asam amino atau peptida, dan faktor penumbuh) dan sebagai protein penstabil. Hidrolisat gelatin atau tripsin merupakan alternatif bovin yang diturunkan babi (Anonim, 2011)
  7. Komponen vaksin lain. Tidak semua vaksin ditumbuhkan di embrio ayam, vaksin bukan merupakan produk darah, vaksin tidak mengandung alkohol, tidak mengandung racun, dan tidak mengandung logam berat, dan vaksin bukan merupakan priduk modifikasi genetik, genetic modified organisms (GMO) (Grabenstein, 2013). 
  8. Vaksin dan autisme. Di Denmark pernah terdapat kasus bahwa ada gejala autis setelah vaksinasi MMR pada anak-anak. Meskipun demikian, kasus ini tidak dapat dibuktikan bahwa autisme benar-benar disebabkan oleh vaksinasi. Faktor-faktor lain seperti genetik, kurangnya program imun TH2, peningkatan viral ensefalitis pada awal hidup, kekurangan vitamin B12, kelainan hormonal, faktor lingkungan, juga faktor-faktor lain yang belum diketahui berkontribusi terhadap lebih terjangkitnya autisme setelah vaksinasi MMR daripada sebelum vaksinasi. Sedangkan penelitian-penelitian lain tidak dapat membuktikan kaitan antara penggunaan vaksin dengan autisme.
  9. Reaksi Alergi termasuk Anafilaksis. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi yang berat dan berlebihan dan dapat menyebabkan kematian. Reaksi ini termasuk termasuk di daerah penyuntikkan. Lebih umum, orang akan mengalami efek jangka pendek yaitu demam, sakit tenggorokan, kemerahan, di daerah yang disuntik. Efek ini tentu saja lebih baik, daripada menjadi sakit. Rasio kejadian anafilaksis sekitar3.5 sampai 10 per juta dosis diikuti dengan yang berisi vaksin measles. Kejadian ini diatasi dengan pelindung yang digunakan untuk kasus anafilaktsis dan dengan metode yang bervariasi dengan menggunakan sistem pertahanan pasif atau pun aktif. Penelitian akhir-akhir ini yang dilakukan mengindikasikan bahwa reaksi anafilaksis terhadap vaksin measles tidak disebabkan karean sisa-sisa protein telur tetapi oleh komponen vaksin yang lain. Kasus yang dilaporkan telah menunjukkan bahwa satu orang yang mengalami reaksi anafilaktik diikuti dengan vaksinasi MMR terjadi dikarenakan orang tersebut memiliki antibodi IgE yang berekasi terhadap gelatin, bahan penstabil yang digunakan dalam produksi vaksin. Artinya vaksin ini aman diberikan pada orang yang alergi terhadap telur

Pustaka
  1. Anonim. 2011. Bovine serum. United States Pharmacopeia 34th revision. Rockville, MD: United Pharmacopeial Convention: p.432-41
  2. Grabenstein, John D. 2013. What World's religions teach, applied to vaccines and immune globulins. Review. Vaccine 31:2011-2023 
  3. Goodchild, Lucy. 2013. Better vaccine supply systems could save 22 million children, scientists say. New supplement to the journal Vaccine emphasizes the need to improve understanding about the benefits of immunization. elsevier.com
  4. Goldman G.S. dan. F.E. Yazbak. 2004. An Investigation of the Association Between MMR Vaccination and Autism in Denmark. Journal of American Physicians and Surgeons Volume 9 Number 3
  5. Fact sheet. 2015. Hepatitis B vaccines for Australians. National Centre Immunisation Research and Surveillance 
  6. Kimmel, Sanford R., Ilene Timko Burns, Robert M, Wolfe, dan Richard Kent Zimmerman. 2007. Addressing immunization barriers, benefits, and risks. The Journal of Family Practice. VOL. 56, NO. 2
  7. Krishnan, Manoj N. dan Mariano A. Garcia-Blanco. 2014. Targeting Host Factors to Treat West Nile and Dengue Viral Infections. Review. Viruses, 6, 683-708  
  8. National Institute of Allergy and Infectious Diseases. 2008. U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SERVI National Institutes of Health. 0NIH Publication No. 08-4219
  9.  NCIRS Fact sheet. 2015. Varicella-zoster (chickenpox) vaccines for Australian children. 
  10. Plotkin SA., Farquhar JD, dan Orga PL. 1973. Immunologic properties of RA27/3 rubella virus vaccines: a comparison with strain presently licensed in the United States. JAMA; 225:585-9
  11. Wang, Wei dan Manmohan Singh. 2011. Selection of Adjuvants for Enhanced Vaccine Potency
    World Journal of Vaccines 1, 33-78
  12. World Health Organization (WHO)a. 2014. INFORMATION SHEET OBSERVED RATE OF VACCINE REACTIONS MEASLES , MUMPS AND RUBELLA VACCINES. Global Vaccine Safety Essential Medicines & Health Products 20, Avenue Appia, CH-1211 Geneva 27 Switzerland
  13. World Health Organization (WHO)b. 2014. INFORMATION SHEET OBSERVED RATE OF VACCINE REACTIONS  OLIO VACCIN ES. Global Vaccine Safety Essential Medicines & Health Products 20, Avenue Appia, CH-1211 Geneva 27 Switzerland

Mini Mikro: Cara Menghindari Penyakit lewat Tangan

0
Tangan kita. credit: Buchanan
Bakteri di tangan dapat tumbuh dan mencapai jumlah yang optimum dalam waktu 20 menit.
 
Bakteri ini ada yang baik dan ada yang buruk. Beberapa ada yang hidup menetap di bagian kulit tertentu, menjadi flora normal di tubuh manusia yang normal, dan tidak membahayakan. Mereka selalu di sana dan tidak dapat dihilangkan dengan sempurna. Sedangkan bakteri yang lain dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sebagai pendatang di kulit kita, dari berbagai sumber, dapat bersifat sementara, dan dapat dihilangkan dengan disinfektan.

Kita akan menyebut bakteri normal di kulit kita sebagai bakteri "residen". Sedangkan bakteri pendatang sebagai bakteri “transient”. Coba pikirkan sejenak dari mana saja kita dapat bakteri di tangan kita.

Credit: Buchanan
Tangan kita mengerjakan apapun untuk kita. Untuk menulis, mengangkat telepon, memegang uang,  makanan, menyenduh luka di tubuh kita, menyentuk pagar, tanaman, dan hewan peliharaan kita. Kegiatan ini menyebabkan tangan kita memperoleh sejumlah bakteri transien seperti terutama Enterococcus dan Enterobacter spp. Sedangkan yang lain adalah Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens. Diantara S. marcescens dan K. pneumoniae, yang rata-rata merupakan bakteri patogen, atau penyebab penyakit.


Bakteri-bakteri tersebut, dan mikroorganisme lain, dapat menyebabkan penyakit-penyakit antara lain diare, severe acute respiratory syndrome (SARS), influenza, flu burung, infeksi radang paru-paru, radang saluran urin, tipus, kolera, disentri, dan penyakit infeksi lain.




Kita tidak dapat melihat bakteri di tangan tanpa menggunakan mikroskop. tetapi kita dapat menumbuhkan dan mengambangbiakannya di Nutrien agar, sehingga kita dapat melihatnya. Nutrien agar merupakan makanan khusus untuk menumbuhkan bakteri di laboratorium. Jika kita menumbuhkan bakteri ke Nutrien agar tersebut kembudian membiarkannya tetap dalam suhu ruang (menginkubasinya), bakteri akan tumbuh dengan cepat.
Kita dapat melihat bakteri tersebut dengan mata telanjang. Ada banyak bakteri yang dapat tumbuh di Nutrien ini. Jutaan bakteri ini membentuk satu kesatuan tertentu disebut koloni, yang dapat dilihat pada gambar-gambar percobaan tersebut.


Kita dapat menghilangkan atau minimal mengurangi bakteri tersebut dengan mencuci tangan dengan air dan sabunn. Pada  gambar-gambar di samping diketahui hasil-hasil bakteri di tangan kita dari sebelum kita cuci tangan, kita cuci tangan hanya dengan air, kita cuci tangan dengan air dan sabun, dan yang terakhir kita cuci tangan dengan air, sabun, dan memakai disinfektan.



Mencuci tangan dengan air dan sabut, dan ditambah lagi dengan menggunakan disinfektan merupakan metode sederhana yang dapat dilakukan untuk menghindari berbagai macam infeksi penyakit. Sebagai catatan, sebaikanya kita tidak terlalu sering menggunakan disinfektan karena menyebabkan bakteri menjadi resistem. Cukup menggunakan disinfekten setelah kita berinterkasi dengan orang sakit, dari kamar keil dan mau memegang makanan, ataupun setelah memegang binatang yang terinfeksi flu burung, air liur biatang yang mengandung virus seperti anjing dan monyet, atau pun setelah kita memegang sampel darah.




Pustaka:
  1. Buchanan, Gale A. Kepala dan Direktur (Reprinted). Estes Reynolds (Penyaji). George A. Schuler, James A. Christian dan William C. Hurst, Extension Food Scientists (Pengarang). Universitas Georgia College of Agricultural and Environmental Sciences and the U.S. Department of Agriculture cooperating.
  2. Burton, Maxine, Emma Cobb, Peter Donachie, Gaby Judah, Val Curtis, dan Wolf-Peter Schmidt. 2011. The Effect of Handwashing with Water or Soap on Bacterial Contamination of Hands. Int J Environ Res Public Health; 8(1): 97–104. 
  3. Rothman RE, Irvin CB, Moran GJ.2006. Respiratory hygiene in the emergency department. Ann Emerg Med ;48:570–582. Dalam Aiello, Allison E., Rebecca M. Coulborn, Vanessa Perez, dan Elaine L. Larson. 2008. Effect of Hand Hygiene on Infectious Disease Risk in the Community Setting: A Meta-Analysis. Am J Public Health; 98(8): 1372–1381.
  4. Zapka, Carrie A., Esther J. Campbell, Sheri L. Maxwell, Charles P. Gerba, Michael J. Dolan, James W. Arbogast, dan David R. Macinga. 2011. Bacterial Hand Contamination and Transfer after Use of Contaminated Bulk-Soap-Refillable Dispensers. Appl Environ Microbiol; 77(9): 2898–2904.

Mini-Mikro: Spora Bakteri di Makanan Kita!

0
Spora Bacillus Antracis terdiri atas mantel luar, mantel dalam, korteks, kore, dan inti, sehingga sangat kuat terhadap panas sampai suhu tertentu, dingin, dan paparan bahan limia, credit: learner.org
Spora merupakan bagian dari bakteri pembenruk spora yang memiliki sifat tahan terhadap panas, dingin, bahan kimia, dan lingkungan lain yang seharusnya sudah cukup untuk membunuh bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga spora memerlukan perkalukan yang lebih dari itu! Spora ditemukan di tanah, air, dan dan permukaan kulit manusia dan binatang. Beberapa bakteri dapat membentuk spora adalah Bacillus dan Clostridium. Bacillus merupakan bakteri aerob-fakultatif anaerob, berbentuk batang, mesofilik (tumbuh pada suhu 35-55ºC) atau bahkan bersifat termofilik (tumbuh pada suhu 55ºC).  Penyebab pembusukkan pada makanan dan menimbulkan penyakit akibat dari makanan.  Clostridium bakteri anaerob, mesofilik dan termofilik, tergantung pada spesiesnya.  Penyebab pembusukkan dan yang paling terkenal penyebab botulisme.
Pemanasan dan iradiasi merupakan proses untuk menonaktifkan spora. Sesuai kadarnya ada yang merusakan, dan ada yang benar-benar meninaktifkan, tapi ketika yang rusak itu berhasil diperbaiki maka spora akan aktif kembali.

Pustaka:
Dr. M.A. Cousin, Department of Food Science, Purdue University, West Layfayette, IN
www.learner.org

Terapi Nutrisi untuk Meningkatkan Metabolisme Penyakit di Saluran Pencernaan-yang Berkaitan dengan Sistem Saraf Pusat

0
Energi, Nutrisi, dan Mikroorganisme
Keseimbangan energi ditentukan oleh energi yang dibutuhkan dan yang dikeluarkan oleh tuubuh. Interaksi yang sempurna ini terjadi melalui sinyal fisiologi di organ periperal dan sistem saraf pusat (SSP). Saluran pencernaan dan hormon jaringan lemak memerankan peranan yang penting dalam mengontrol keseimbangan energi, terutama melalui pengaturan pengambilan makanan untuk menghasilkan energi jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu, sistem saraf enterik (SSE), hormon saluran pencernaan, dan nutrisi, berperan sebagai kontrol di awal dan akhir kita makan. (Pimentel dkk., 2010 dalam Pimentel dkk, 2012).
Aksis saluran pencernaan dan SSP diatur oleh SSE. SSE merupakan pusat pengontrol saluran pencernaan yang mandiri atau tidak bergantung pada SSP, berfungsi untuk mengatur seluruh aktivitas di saluran pencernaan. Bertanggung jawab untuk mengatur keseimbangan energi dan dapat digunakan untuk terapi pasien-pasien dengan penyakit sebagai berikut dengan menggunakan nutrisi, seperti  obesitas, diabetes militus tipe 2, radang saluran pencernaan, penurunan berat badan dengan menggunakan bedah, dan anoreksia yang berkaitan kanker (Nezami dan Shinta, 2010). 
Hipotalamus merupakan pusat pengendali rasa lapar. Berkaitan dengan hormon, rasa lapar dipengaruhi oleh hormon berikut. Pada saat kita makan maka tubuh akan mengeluarkan hormon anoreksigenis, seperti peptide YY (PYY), the glucagon-like peptide 1 (GLP-1), oxyntomodulin (OXM), the glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP), cholecystokinin (CCK), dan prouroguanylin yang berguna untuk membentuk energi sesuai kebutuhan kita. Sementara itu, saat kita berpuasa, tubuh akan melepaskan hormon ghrelin (Valentino dkk., 2011 dalam Pimentel dkk., 2012) yang menimbulkan rasa lapar. 




Orang yang berpuasa terjadi peningkatan hohmon ghrelin, sehingga timbul rasa lapar. Sedangkan setelah kita makan maka hormon-hormon yang muncul adalah PYY, GLP-1, OXM, GIP, CCK, dan prouroguanylin (Pimentel dkk., 2012)
Mikroorganisme mempengaruhi penyerapan energi melalui komunikasi dengan tubuh inang, Mekanisme komunikasi antara mikroorgansime di dalam tubuh dan tubuh melalui dua arah. Arah yang pertama mikroorganisme dengan sel saluran pencernaan yang mempengaruhi fungsi dan pesan otak dan akhirnya dapat mengubah aktivitas saluran pencernaan seperti motor, sensor, dan sekresi. Mekansme ini berjalan melalui batang otak dan melalui aferens spinal cord. Namun yang lain menemukan bahwa, ada sebagian yang lain dapat berkomunikasi langsung dengan SSP. Kadar hormon serotonin (5-HT) dan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) juga ikut berpengaruh terhadap komunikasi ini. 
Mikroorganisme di dalam tubuh manusia mendapatkan energi dari darah, meskipun demikian bebrerapa bakteri ini menguntungkan karena membuka profil organ, membantu pencernaan dan metabolisme makanan di dalam tubuh, menyediakan nutrisi hasil metabolisme, meningkatkan perlindungan dinding usus, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Mikroorganisme yang paling berpengaruh ini adalah Bacteroidetes and Firmicutes (Conlon dan Anthony, 2015).
Mikroorganisme juga mampu mencerna sumber bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh manusia, seperti mencerna oligosakarida. Asam lemak rantai pendek (ALRP), merupakan produk fermentasi utama bakteri anaerob, merupakan sumber energi yang penting untuk manusia, digunakan oleh kolonosites, hati, dan otot. Telah dilaporkam bahwa 5 - 10% energi basal manusia disediakan oleh ALRP (Carding dkk., 2015, Conlon dan Anthony, 2015 ).
Karena interaksi mikrobia dengan inang mengarahkan ke keseimbangan gen inang, perubahan mikrobiota dapat menyebabkan beberapa penyimpangan metabolisme. Laporan dari Cryan & Timothy, 2012 dan Selhab dkk., 2012 memperkirakan bahwa sejumlah kondisi dapat berubah akibat perubahan mikrobiota, seperti obesitas, radang pencernaan, antibiotik, infeksi, perubahan sikap kognitif, mood, stress, dan sebagainya
Zhang dkk., 2012 menyatakan bahwa obesitas dan diabetes militus tipe 2 dapat dikarakterisasi dengan adanya peningkatan kadar lipopolisakarida (LPS). Adanya makanan penginduksi obesitas (MPO), sebagai contoh, membuat kadar LPS lebih tinggi daripada orang yang berpuasa. Sebagai informasi tambahan, penyakit non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan penyakit hati yang berkaitan dengan obesitas (Finelli dan Giovanni, 2014). 
Radang saluran pencernaan dari beberapa model obesitas telah diobservasi bahwa penentu utama permiabilitas intestinal adalah protein pengikat antar sel. Protein pengikat ini diorganisasi oleh transmembran protein yang sama, seperti occludin, claudin, dan molecule-1. Oleh karena itu, protein transmembran ini berinteraksi dengan Zonula Occludens (ZO-1-3), yang merupakan tetua transmembran mendukung peningkatan permiabilitas intestinal. Peningkatan permiabilitas intestinal inilah diperkirakan berkaitan dengan masuknya bakteri patogen ke dalam pembuluh darah dan proses peradangan.
Penurunan konsumsi serat dan peningkataan konsumsi daging berkaitan dengan modulasi mikrobiota saluran pencernaan. Penulis menunjukkan bahwa protein dan lemak meningkatkan kadar bakteri Bacteroidetes, dan makanan yang mengandung karbohidrat tetapi kurang daging dan susu meningkatkan kadar Prevotella . Bersamaan, fakta ini menghasilkan berat badan dan radang saluran penceranaan berkaitan dengan bakteri. Beberpa hasil penelitian menyatakan bahwa asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar LPS di darah, yang kemungkinan disekresikan oleh sel saluran pencernaan, yang dapat berefek pada SSP dan mengubah sejumlah penanda peradangan. Sebagai tambagan, peningkatan permiabilitas intestinal diperburuk oleh diet tinggi lemak dan LPS dapat juga beranggung jawab dalam penggantian fungsi pelindung epitelial, dan olah karena itu bertanggung jawab terhadap prevalensi yang tinggi dari obesitas dan diabetes militus tipe 2.

Bedah Bariatrik

Saat ini, pada manusia, pengurangan berat badan dengan metode bedah, telah ditemukan sebagai prosedur yang dapat menurunkan berat badan pasien dengan cepat, diikuti dengan pemecahan masalah diabetes militus tipe 2 dan pengurangan kematian akibat jantung. Meskipun demikian, mekanisme ini belum dijelaskan secara lengkap. Pasien dengan obesitas mengalami kadar PYY dan GLP-1 yang tinggi dalam darahnya yang yang kemudian di simpan di tubuh pada saat operasi. Penggunaan Rouxen-Y jangka pendek (enam bulan) dapat menstimulasi kembali sekresi PYY dan GLP-1, pasien memiliki respons terhadap makanan cair, dan pasien  yang toleran terhadap glukosa. Pasien yang memiliki peningkatan konsentrasi GLP-1 dan OXM yang progresif setelah operasi lambung dan prosedur ini mengurangi berat dan meningkatkan sensivitas insulin.
Secara kolektif, data tidak dipublikasikan, menunjukkan bahwa setelah operasi lambung, sejumlah hormon saluran pencernaan dapat mengurangi rasa lapar dan menormalkan keseimbangan glukosa, dan aksi utama itu dimodulasi melalui GLP-1, PYY, OXM, ghrelin, insulin dan leptin. Meskipun demikian,  peningkatan sekresi hormon anoreksigenik, seperti GLP-1 dan PYY dapat memodulasi permiabilitas intertinal dan meningkatkan sekresi hormon pencernaan anoreksigenik. Secara kolektif, diketahui bahwa hormon anoreksigenik mungkin mengaktifkan neuropeptidase POMC dan CART untuk mengurangi kebiasaan asupan makanan yang berlebihan dan berat badan, dan juga membantu menggabungkan energi. 
Peradangan saluran pencernaan (PSP)
PSP, yang berefek pada kesehatan manusia, termasuk luka usus besar, penempakkan penyakit ini mungkin disebabkan modifikasi mikrobiota di saluran pencernaan, atau sebagai akibat peradanagn lokal. Meskipun demikian, hasil studi selama ini, telah menunjukkan bahwa dinding intestinal baik yang infeksi atau pun tidak dapat dikaitkan dengan gejala penyakit. Sementara itu, penelitian yang dilakukan pada pasien yang didiagnosa memiliki penyakit radang saluran pencernaan telah diboservasi meningkatkan ekspresi TLR2, TLR4, dan TLR5 pada dinding saluran pendenaan, dan penelitian yang lain melaporkan bahwa peningkatan kadar IL-6, IL-8, TNF-α dan interferon-gamma meningkat. Oleh karena itu, ini mungkin untuk mengobservasi bahwa radang saluran pencernaan yang memiliki status peradangan yang lebih  tiggi daripada dengan orang obesitas, lebih rentan terhadap gejala penyakit telah disimpan. Untuk menginvestigasi efek dari inflamati-neuro pada binatang dijadikan lampuran yang dicampurkan radang saluran pencernaan IBD, Wang K, dkk. mengobservasi peningkatan ekspresi IL-6 mRNA baik di kolon atau di otak dibandingkan dengan binatang normal.
Secara kolektif, ini dapat dispekulasikan bahwa peningkatan kadar tingkat kaitan bakteri saluran pencernaan anti inflamasi mengarahkan ke pengurangan pengambilan makanan dan malnutris karena aktgifasi sitokin di SSP. Sistem saraf otonom merupakan kunci pada kontrol otak pada sistem imun dan peradangan sedang. 
Kesimpulannya, beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa masalah peradangan saluran cerna dikaitkan dengan pengirangan bakteri Lactobacillus spp and Bacteroidetes, dan rasio peningkatan bakteri Firmicutes-Bacteroidetes. Perubahan flora saluran pencernaan ini terjadi melalui perubahan sistem imun yang berkaitan dengan penyakit patogen.

Terapi nutrisi yang dapat meningkatkan metabolesime penyakit melalui aksis SSP-saluran pencernaan

Sementara mikrobia telah digunakan untuk mempelajari mekanisme peradangan penyakit dan resistensi insulin, sejumlah ilmuwan juga telah menyatakan bahwa komponen nutrisi dapat digunakan sebagai strategi untuk membasmi penyakit dari abnormalitas ini.
Berdasarkan komponen nutrisi yang mendukung kesehatan mikrobiota intestinal, kami menyorot serat makanan, probiotik, dan prebiotik (Pimentel dkk, 2012). Peningkatan termasuk pengurangan sistemik dan perdangan lokal, sebagaimana berkurangnya rasa sakit dan tidak nyamannya intestinal, ketika kedua probiotik dan prebiotik digunakan. Sebagai tambahan, penelitian lain telah menunjukkan penghambatan translokasi bakteri dan pengurangan permiabilitas intestinal dengan menggunakan nutrien ini.
Satu penelitian menunjukkan bahwa penggunaan oligofruktosa, sebuah prebiotik, meningkatkan kadar Bifidobacterium spp., dan meningkatkan sensitivitas insulin, dan juga menyimpan status peradangan melalui penurunan metabolisme endotoksaemia.
Oligofruktosa dan pati resisten telah menunjukkan peningkatan ALRP-penginguksi ekspresi GLP-1, dan untuk mengurangi ekspresi ghrelin. Lebih dari itu, review akhir-akhir ini nutrisi dan diet dapat dapat menstimulasi peptida saluran pencernaan anoreksigenik, mengurani makan berlebihan dan memecah obesitas telah disimpulkan. Nutrisi utama dan diet dapat meningkatkan sekresi GLP-1, CCK, GIP, OXM, dan PYY adalah serat makanan, produk olahan susu, asam lemak tak jenuh, dan diet kalori normal.
Serat makanan ini difermentasi oleh mikrobiota, dan kadar asam butirat ditemukan pada binatang yang diberi makan dengan bahan makanan yang mengandung campuran oligofruktosa dan rafinosa.
Pasien yang menderita kerusakan pankreas dengan diare menerima nutrisi semi-elemental melalui usus dua belas jari, dan meningkatkan asam lemak rantai pendek di fekal seperti asetat, propionat, dan butirat, yang ditemukan ketika membandingkan dengan kadar sebelum treatmen. Sebagai tambahan. Suplemen serat makanan adalah metode yang sempurna untuk meningkatkan mikrobiota sehat di intestinal, dan sebagai hasilnya mengurangi gejala disbiosis.
Konkomitan sejumlah nutrisi "sehat", ini mungkin bahwa asam lemak tak jenuh, seperti omega-3, merupakan pilihan yang menarik untuk meningkatkan ketahanan tubuh, dan itu dapat dimodulasi oleh ikatan fisiologi dari asam lemak ini.
Telah diketahui bahwa obesitas, resisten insulin, radang saluran pencernaan merupakan grup yang mewakili grup yang membutuhkan moderasi mikrobiota insulin karena resiko tinggi perkembangan kanker. Ini karena bakteri intestinal menginduksi karsinogenesis yang diperkirakan melalui peradangan kronis, evasi imun sistem, dan daya tahan tubuh lemah. Kebalikannya, prebiotik yang dugunakan darurat juga mungkin untuk mengurangi status pro-peradangan yang terlihat pada pasien kankter.
Meskipun senyawa nutrisi penting untuk penting untuk meningkatkan kesehatan, perubahan pola makan, seperti peningkatan konsumsi sayur dan buah, juga mengurangi gula terefinasi dan asam lemak trans, dibutuhkan, sebagai bahan makanan yang dapat melindungi dari obesitas, selanjutnya mikronutrien dan makronutrien dari bahan makanan penting untuk meningkatkan kesehatan dan memperkuat daya tahan tubuh.



 *disbiosis adalah gejala munculnya penyakit akibat terjadi perubahan komposisi baik jumlah atau pun jenis mikroorganisme di dalam tubuh

Pustaka
  1. Carding, Simon, Kristin Verbeke, Daniel T. Vipond, Bernard M. Corfe,, dan Lauren J. Owen. 2015. Dysbiosis of the gut microbiota in disease. Microbial Ecology in Health & Disease, 26: 26191
  2. Conlon, Michael A. dan Anthony R. Bird. 2015. The Impact of Diet and Lifestyle on Gut Microbiota and  Human Health. Review. Nutrients, 7, 17-44
  3. Cryan, John F. dan Timothy G. Dinan. 2012. Mind-altering microorganisms: the impact of the gut microbiota on brain and behaviour. Nature Reviews Neuroscience 13, 701-712 
  4. Finelli, Carmine dan Giovanni Tarantino. 2014. NONALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE,  DIET AND GUT MICROBIOTA Review. EXCLI Journal;13:461-490.
  5. Nezami, Behtash Ghazi dan Shanthi Srinivasan. 2010. Enteric Nervous System in the Small Intestine: Pathophysiology and Clinical Implications. Curr Gastroenterol Rep. 2010 Oct; 12(5): 358–365. 
  6. Pimentel, Gustavo D., Thayana O Micheletti, Fernanda Pace, José C Rosa, Ronaldo VT Santos dan Fabio S Lira. 2012. Gut-central nervous system axis is a target for nutritional therapies. Review. Nutrition Journal, 11:22  
  7. Pimentel et al. Nutrition Journal 2012 11:22 
  8. Ray, Katrina. 2015. Host–microbe interactions and the enteric nervous system: a new connection? Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology 12, 311 Role of intestinal microbiota on development or prevention of inflammatory diseases via dietary fibers, probiotic or prebiotic in the peripheral tissues and central nervous system. ZO-1: Zonula , JAM-1: juntional adhesion molecule 1.
  9. Valentino MA, Lin JE, Snook AE, Li P, Kim GW, Marszalowicz G, Magee MS, Hyslop T, Schulz S, dan Waldman SA. 2011. A uroguanylin-GUCY2C endocrine axis regulates feeding in mice. J Clin Invest 121:3578-3588. Dalam. Pimentel, Gustavo D., Thayana O Micheletti, Fernanda Pace, José C Rosa, Ronaldo VT Santos dan Fabio S Lira. 2012. Gut-central nervous system axis is a target for nutritional therapies. Review. Nutrition Journal, 11:22. 
  10. Selhub, Eva M, Alan C Logan, dan Alison C Bested. 2014. Fermented foods, microbiota, and mental health: ancient practice meets nutritional psychiatry. Journal of Physiological Anthropology 2014, 33:2
  11. Zhang. Yu-Jie, Sha Li, Ren-You Gan, Tong Zhou, Dong-Ping Xu. dan Hua-Bin Li. 2015. Impacts of Gut Bacteria on Human Health and Diseases. Review . Int. J. Mol. Sci., 16, 7493-7519
     

Perlawanan bakteri Yoghurt terhadap bakteri patogen dan mekanisme perlindungannya di dalam tubuh kita

0














Tidak peduli apa jenis yogurt baik yogurt semi-padat, yogurt dengan penambahan sedikit air, dan yogurt cair siap minum atau pun produk fermentasi lainnya seperti sour cream, creme fraiche, kefir, buttermilk atau sour milk, proses intinya sama. Harus ditentukkan kadar lemak yang terdapat pada susu untuk mendapatkan bermacam-macam produk akhir. Setelah susu dihomogenisasi dan dipasturisasi, kultur bakteri tertentu ditambahkan ke dalam susu dan diinkubasi. Setelah mencapai pH optimum, proses tersebut kemudian didinginkan, campuran buah kemudian ditambahkan, dan kemudian dimasukkan ke dalam kemasan. Semua proses ini biasanya dilakukan secara aseptis untuk menghindari kontaminasi.
Bakteri yang diinokulasikan dan yang terdapat pada yogurt dapat bermacam-macam, atau kombinasi dari bakteri-bakteri berikut ini:

Kultur yang dimasukkan ke dalam yogurt dan kandungan bakteri di yogurt itu sendiri antara lain berikut: Lactobacillus acidophilus, Streptococcus lactis and Staphylococcus sp. Lactobacillus, Streptococcus and Staphylococcus sp, Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium ssp., and Lactobacillus casei). Proses pembuatan yogurt itu sendiri secara garis besar dapat dilakukan seperti gambar di atas.
Pembuatan yogurt secara detail dapat dilihat sebagai berikut

Yogurt dalam memerangi bakteri patogen
Keuntungan kita ketika mengkonsumsi yogurt antara lain (Roberto, 1996; Sfakianakis dan Constatnina, 2014; Muhammed dan Udeme, 2013; Hickson, 2011):
  1. Aman untuk orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Beberapa orang tidak dapat mencerna laktosa yang terdapat pada susu karena tidak memiliki enzim laktose. Orang yang tidak tahan terhadap laktosa ditandai dengan diare dan terbentuknya gas yang berlebihan di pencernaan setelah meminum susu yang mengandung laktosa. Bakteri asam yang membuat rasa yogurt menjadi asam dapat menguraikan laktosa dengan menggunakan enzim laktose menjadi glukosa dan galaktosa dan produk tambahan lain yaitu asam laktat. Dengan kelebihan ini, susu dapat dikonsumsi oleh semua orang yang tidak tahan terhadap laktosa. 
  2. Protein susu berupa kasein lebih mudah dicerna. Kasein merupakan protein yang terkandung pada susu. Fermentasi susu melibatkan dua bakteri asam laktat utama yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang dapat menghidrolisis kasein sehingga mudah dicerna. Bakteri ini memiliki karakteristik bersel tunggal dan paling tidak ada 2 juta bakteri per gram yogurt dan hidup pada yogurt dengan penyimpanan yang baik. 
  3. Mikronutrien seperti kalsium dan fosfor lebih tersedia. Gabungan protein serum pada yogurt (yaitu lakto albumin dan lakto globulin), enzim laktose, dan asam laktat menyebabkan mikronutrien kalsium dan fosfor, yang banyak terdapat pada susu, menjadi lebih tersedia dan lebih cepat digunakan oleh tubuh.
  4. Meningkatkan bakteri baik di dinding saluran pencernaan. Produk fermentasi memiliki keasaman yang tinggi yang mendukung perkembangan bakteri baik di saluran pencernaan. Selain bakteri dari yogurt juga bermanfaat.
  5. Kandungan turunan vitamin yang bermanfaat. Produk fermentasi susu berupa yogurt banyak mengandung senyawa turunan vitamin, terutama grup vitamin B. Selain produk ini mudah diserap oleh tubuh, produk yang berikatan dengan senyawa asam, dapat melindungi produk turunan ini dari penguraian oleh bakteri proteolitik, flora normal saluran pencernaan.
  6. Senyawa bakteriosin yang melawat bakteri 'jahat' di saluran pencernaan. Bakteri pada yogurt menghasilkan senyawa antibakteri antara lain nisin, diplokokin, acidofilin, bulgarikan, helvetikin, laktisin, dan plantarisin. Nisin efektif untuk memerangi bakteri Gram-positif, terutama pembentuk spora, bakteriosin yang lain dapat memerangi bakteri patogen Staphylococcus sp, Salmonella sp, Bacillus sp, Shigella sp, Pseudomonas aeruginosa, Shigella dysenteriae, and Eschericia coli.
  7. Sumber protein. Dari jurnal nutri penelitian yang dilakukan oleh Ortinau dkk., 2013 menemukan bahwa yogurt, terutama greek yoghurt memiliki kandungan protein yang tinggi yang dapat mengenyangkan tubuh dan menunda rasa lapar
  8. Mendukung pertumbuhan bakteri baik saat menggunakan antibiotik. Ketika kita mengkonsumsi antibiotik ada kemungkinan flora normal yang baik di dalam usus juga ikut musnah, dengan mengkonsumsi yoghurt makan mikroorganisme dalam yogurt tersebut dapat digunakan mendukung pertumbuhan bakteri baik. Hal ini karena asam laktat yang diproduksi oleh bakteri yang terdapat dalam yogurt.
  9. Mencegah diare saat menggunakan antibiotik. Konsumsi antibiotik juga menyebabkan pertumbuhan bakteri Clostridium difficile menjadi dominan sehingga menyebabkan diare. Konsumsi yogurt, maka bakteri yang ada di dalam yogurt dapat menekan pertumbuhan bakteri tersebut.  Selain itu seperti Lactobacillus dapat melindungi dan mengkolonisasi mukosa usus dan bersifat tahan terhadap antimikroba yang dikeluarkan bakteri lain.
Pustaka



Anonim. Culture Wars How the Food Giants Turned Yogurt, a Health Food, into Junk Food. Cornucopia Institut.

Flora, Roberto (Editor). 1996. YOGURT FOREVER : The Yogurt Encyclopaedia. page:10-45

Hickson, Mary. 2011. Probiotics in the prevention of antibiotic-associated diarrhoea and Clostridium difficile infection.Therap Adv Gastroenterol. 4(3): 185–197.
Mohammed, Sani Sambo dan Datsugwai dan Udeme Josiah Joshua Ijah. 2013. Isolation and screening of lactic acid bacteria from fermented milk products for bacteriocin production. Annals. Food Science and Technology

Ortinau, Laura C, Julie M Culp, Heather A Hoertel, Steve M Douglas, dan Heather J Leidy. 2103. The effects of increased dietary protein yogurt snack in the afternoon on appetite control and eating initiation in healthy women. Nutrition Journal, 12:71
Sfakianakis, Panagiotis dan Constatnina Tzia. 2014. Review Conventional and Innovative Processing of Milk for Yogurt Manufacture; Development of Texture and Flavor. Review
Yilmaz-Ersan, Y. dan E. Kurdal. 2014. The Production of Set-Type-Bio-Yoghurt with Commercial Probiotic Culture. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 5, No. 5



 

Popular Posts